Lia Deviyanti |
Dia temanku. Gadis berusia 18 tahun puteri bungsu dari ayah bernama M. Lukman dan ibu bernama Nova Irianti ini dilahirkan di kota hujan, Bogor, pada 2 Juni 1992. Lia begitu panggilan akrab anak ketiga dari tiga bersaudara itu. Lengkapnya Lia Deviyanti. Nama yang cantik, sesuai dengan orangnya.
Ayahnya dan ibunya bekerja sebagai karyawan swasta. Dan karena tuntutan pekerjaan pula dia mesti rela ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya pada usia yang masih sangat muda. "Sejak umur satu tahun aku sudah ditinggal pergi oleh mereka," kenangnya.
Waktu itu tentu saja dia belum mengerti. Yang dia tahu, dia jarang bertemu dengan ayah dan ibunya. Sang ayah bekerja di Semarang, Jawa Tengah sedangkan ibunya bekerja jauh di Kota Manado, Sulawesi Utara. Untunglah masih ada sang nenek yang memberinya limpahan kasih sayang menggantikan ayah dan ibunya yang hanya menengoknya beberapa hari dalam sebulan. Selama tiga tahun dia diasuh oleh neneknya.
Sebagaimana anak bungsu pada umumnya, Lia terkesan sedikit manja. Walaupun begitu dia gadis yang periang dan senang bercanda. Ia selalu membawa keceriaan di Panglima. Panglima adalah sebutan untuk angkatan kuliah di kampus kami. Ada saja hal-hal konyol yang dia lakukan dan dapat mebuat aku dan teman-teman lainnya tertawa lepas.
Aku mengenalnya sejak kami sama-sama duduk di bangku kuliah Universitas Islam 45, Bekasi. Kami satu jurusan dan satu kelas. Karena cocok dengan sifatnya yang easy going dan periang itu, lama kelamaan kami menjadi sahabat dekat. Entah kenapa, sejak pertama bertemu dengannya aku tertarik pada Lia. Dia baik, suppel, gampang bergaul dengan semua orang. Dia juga tidak pernah memilih-milih teman. Mau cakep atau jelek, semua sama saja dimata Lia. Tetapi jangan bikin dia marah. Galak dan menakutkan.
Sejak kuliah di Unisma Bekasi, Lia tidak lagi tinggal bersama orang tuanya di Bogor. Terlalu jauh jika harus pulang pergi Bogor-Bekasi. Ia sekarang tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Harapan Jaya, Bekasi. Walaupun terkesan kenes dan manja, tetapi menurutku dia gadis pemberani. Buktinya Lia berani jika harus berangkat kuliah dari kediaman orang tuanya di Bogor tanpa harus diantar siapapun. Dia juga berani hidup mandiri dengan berpisah dari orang tuanya. Dia mengaku kalau cucian kotornya segunung. Mungkin dia terlalu sibuk sehingga tidak sempat untuk mencuci pakaiannya.
Biru adalah warna kesukaannya. Makananan favoritnya yaitu soto. Lia juga memiliki seorang pacar dan dia sayang pada lelaki itu. Namanya Dimas Randu Pratama. Aku lihat mereka saling mencintai. Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun. Artinya sejak dia duduk di bangku SMA. Lia mempunyai panggilan sayang untuk pacarnya yaitu si Item. Dimas tidak marah dipanggil begitu. Mereka memang pasangan yang kompak dan serasi. Karena ulah Lia itu, kami jadi ikut memanggilnya si Item pula.
Meski sudah punya pacar, Lia tetap dekat dengan aku dan teman-temannya. Kadang-kadang dia melakukan hal yang konyol. Entah mungkin karena kesiangan atau karena terlambat, dia pernah tidak mandi untuk ke kampus. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Untung saja ia berkulit putih dan berwajah cantik. Jadi ia tetap terlihat menarik walaupun ia tidak mandi.
Aku dan Lia memiliki tubuh yang sama-sama kurus. Itu membuat kami menjadi bahan ledekan ketika ada angin kencang. Mereka bilang kami bisa terbang dan terbawa angin. “Fiiuuuh ......” itu kata-kata yang sering Widya ucapkan kepada kami berdua saat meledek kami. Menirukan suara angin bertiup. Widya adalah teman kami seangkatan juga. Walaupun begitu kami tetap senang, tak pernah ada benci diantara kami.Ya, kami punya geng yaitu aku, Lia, Widya, Eva, dan Danik begitu dekat.
Kami berlima hampir selalu mengerjakan apapun bersama. Aku dan Lia mendapat julukan “Tim Hore” karena kami yang paling ramai diantara mereka. Lia selalu tertawa walaupun sedang dalam kesusahan. Aku sangat menyukai Lia. Meski begitu, kami juga tetap berteman dengan yang lain. Kami kemana-mana berlima mungkin karena kecocokan dari awal saja. Tidak berarti membatasi pertemanan.
Tinggal dilengkapi sedikit soal saudara-saudara Lia, maka reportase ini sudah cukup menarik. Kisahnya hidup terpisah dengan kedua orang tuanya juga kurang detil. Misalnya berapa kali sebulan ayah dan ibunya pulang ke Bogor, dan sekarang ini apakah kedua orang tuanya masih terus ada di Semarang dan Manado?
BalasHapus